Rabu, 12 April 2017

Kewarisan dan Hibah




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap harta pasti ada pemiliknya, ketika pemiliknya meninggal maka hrus ada pemilik yang memiliki harta tersebut. Perolehan harta dengan kewarisan adalahhak otomatis menjadi hak ahli warisnya. Ada aturan yang telah Allah dan Rasulullah Saw. tetapkan agar ahli waris yang ditinggalkan mendapatkan ahli masing-masing.
Hibah adalah pemberian secara suka rela dari orang yang boleh bertasyaruf (boleh bertasyaruf maksudnya mempunyai kemampuan untuk membelanjakan harta dan merupakan pemilik dari harta tersebut, penj) ketika masih hidup bersama orang lain dengan jumlah yang diketahui.
Nabi Saw memberi dan menerima hadiah . beliau juga membeli dan menerima pmberian. Maka pemberian dan hadiah termasuk sunnah yang dianjurkan karena kebeikan-kebaikan yang dikandungnya.
Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan kewarisan
2.      Ada berapa macam-macam ahli waris
3.      Apa yang dimaksud dengan hibah
4.      Ada berapa macam-macam hibah
Tujuan masalah
1.      Untuk mengetahui kewarisan
2.      Untuk mengetahui macam-macam ahli waris
3.      Untuk mengetahui hibah
4.      Untuk mengetahui macam-macam hibah

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kewarisan
Setiap harta pasti ada pemiliknya, ketika pemiliknya meninggal maka hrus ada pemilik yang memiliki harta tersebut. Perolehan harta dengan kewarisan adalahhak otomatis menjadi hak ahli warisnya. Ada aturan yang telah Allah dan Rasulullah Saw. tetapkan agar ahli waris yang ditinggalkan mendapatkan ahli masing-masing.
1.      Orang yang berhak mendapatkan kewarisan
Ahli waris merupakan orang yang paling berhak mendapatkan harta peninggalan keluarganya yang meninggal, yang secara prioritas diberikan oleh orang yang mempunyai kedekatan biologis atau keturunan pewaris. Secara umum ditegaskan oleh Rosululloh Saw. dalam hadis berikut:
عَن اَبِى هُر يْر ة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى ا للَّه عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ تَرَكَ مَا لاَفَلاَ هْلِهِوَ مَنْ تَرَكَ ضَيَا عًا فَإِ لَيَّ
”Abu hurairah menyatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda: siapa yang meninggalkan harta merupakan hak keluarga yang ditinggalkannya dan siapa yang tidak meninggalkan apa-apa, maka tanggung jawab saya.”
Dalam hadis Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa jika seorang meninggal duna dan meninggalkan harta, maka harta tersebut menjadi hak ahli warisnya. Dengan kata lain, harta warisan harus menjadi hak para ahli waris.ahli waris akan mendapatka haknya, atas semua harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Harta warisan tersebut harus dibagikan kepada ahli waris yang ditinggalakan dan yang berhak menerimanya, sesuai dengan bagian yang relah ditentukan setelah semua yang berkaitan dengan wasiat dan utang dibayarkan sesuai yang ditetapkan dalam QS. An-nisa’ [4]: 11 dan 12.
Dengan demikian, islam mengakui kontribusi kekayaan melalui pemindahan hak secara otomatis (warisan ) disampng melalui upaya sendiri untuk bekerja keras. Langkah pewarisan harta yang diatur oleh islam secara ketat dan rinci, disamping untuk memberi dorongan agar umat islam bekerja keras dan berhemat, juga merupakan eliminasi terhadap harta tak bertuan. Karena islam sangat mencela kontra produktif dan usseles dalam berbagai bidang kehidupan. Penentuan ahli waris dalam Al-Qur’an dan Hadis didasarkan kepada kedekatan kekerabatan atau hubungan darah antaranya dengan orang yang meninggal dunia. Dapat dikatakan bahwa hubungan kekerabatan vertikal lebih dekat dari kekerabatan horizontal  dan diagonal.  Ibu/bapak dan anak yang meninggal lebih dekat hubungannya dari sodara dan paman/bibi, sehingga konsekuensi logisnya islam memberikan prioritas kepada yang lebih dekat   dan keluarga yang jauh tidak mendapatkan warisan selama kerabat yang dekat masih ada.
Adanya aturan tentang kewarisan ini menunjukkan bahwa islam sangat memerhatikan faktor ekonomi dan kesejahteraan keluarga yang ditinggal oleh si mayat. Oleh sebab itu, islam dengan tegas memberikan perngatan terhadap semua orang untuk bekerja keras dan tidak boros serta menghemet hartanya, dengan menyisakan sebagian dari penghasilannya (menabung).[1]
2.      Macam-macam ahli waris
Ahli waris ada dua macam yaitu:
1.      Ahli waris nasabiyah, karena ubungan darah.
2.      Ahli waris sababiyah, timbul karena:
·         Perkawinan yang sah.
·         Memerdekakan hamba sahaya (al-wala’) atau karena perjanjian tolong-menolong.
Jumlah keseluruhan ahli waris baik nasabiya maupun sababiyah terdiri dari 25 orang, 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan.
Yang termasuk ahli waris nasabiyah yang laki-laki berjumlah 13, yaitu:
1.      Anak laki-laki (al-ibn)
2.      Cucu laki-laki garis laki-laki (ibn al-ibn) dan seterusnya kebawah
3.      Bapak (al-ab).
4.      Kakek dari bapak (al-jadd min jihat al-ab).
5.      Saudara laki-laki sekandung (al-akh li al-syaqiq).
6.       Saudara laki-laki seayah (al-akh li al-ab).
7.      Saudara laki-laki seibu (al-akh li al-umm).
8.      Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung (ibn al-akh li al-syaqiq)
9.      Anak laki-laki saudara laki-laki seayah (ibn al-akh li al-ab)
10.  Paman, saudara bapak sekandung (al-amm al syaqiq).
11.  Paman seyah (al-amm li al-ab).
12.  Anak laki-laki paman sekandung ( ibn al-amm li al-syaqiq).
13.  Anak laki-laki paman seayah (ibn al-amm li al-ab).
Sedangkan ahli waris nasabiyah yang perempuan berjumlah 8 orang, sebagai berikut:
1.      Anak perempuan (al-bint).
2.      Cucu perempuan garis laki-laki(bint al-ibn).
3.      Ibu (al-umm).
4.      Nenek garis bapak (al-jaddah min jihat al-ab).
5.      Nenek garis ibu (al-jaddah min jihat al-umm).
6.      Saudara perempuan sekandung(al-ukht al-syaqiqah).
7.      Saudara perempuan seayah (al-ukht li al-ab).
8.      Saudara perempuan seibu (al-ukht li al-umm)
Sedangkan ahli waris sababiyah yang laki-laki yaitu suami dan orang laki-laki  yang memerdekakan hamba sahaya. Dan ahli waris sababiyah yang perempuan adalah istri dan orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya atau perjanjian tolong menolong.[2]
3.      Ahli waris ashab alfurud
Dinamakan ahli waris ashab alfurud kaena bagian-bagiannya telah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Hadis, atau disebut furudul muqaddarah. Bagian-bagian tersebutlah yang akan diterima oleh ahli waris menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan.
Adapun macam-macam furudul muqaddarah yang diatur  Dalam Al-qur’an ada 6, yaitu:
a.       Setengah (1/2)
b.      Sepertiga (1/3)
c.       Seperempat (1/4)
d.      Seperenam (1/6)
e.       Seperdelapan (1/8)
f.       Dua per tiga (2/3)
Pada umumnya ahli waris ashab al-furud adalah perempuan, sementara ahli waris laki-laki  yang termasuk ashab al-furud adalah bapak, atau kakek dan suami. Selain itu laki-laki menerima bagian ashabah.
Adapun hak-hak yang diterima ahli waris ashab al-furud adalah:
a.       Anak perempuan, berhak menerima bagian:
·         1/2 jika sendirian tidak bersama dengan anak laki-laki
·         2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama-sama anak laki-laki
b.      Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima:
·         1/2 jika sendirian
c.       Ibu, berhak menerima bagian:
·         1/3 jika tidak ada anak atau cucu (far’u waris) atau saudara dua orang atau lebih.
·         1/6 jika ada far’u waris atau bersama dua orang saudara atau lebih.
·         1/3 sisa, dalam masalah gharrawain, yaitu apabila ahli waris terdiri dari: suami/istri, ibu dan bapak.
d.      Bapak berhak menerima bagian:
·         1/6 jika ada nak laki-laki dan cucu laki-laki
·         1/6 + sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki.
Jika bapak bersama ibu:
·         Masing-masing 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih.
·         1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih.
·         Ibu menerima 1/3 sisa, bapak sisanya setelah diambil untuk suami atau istri.
e.       Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian :
·         1/6 jika seorang
·         1/6 dibagi rata, apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya.
f.       Kakek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
·         1/6 jika bersama anak laki-laki dan cucu laki-laki.
·         1/6 +sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan tanpa ada anak laki-laki.
·         1/6 atau muqassamah ( bagi rata) denga saudara sekandung  atau seayah, setelah diambil untuk ahliwaris lain, 1/3 atau muqassamah bersama saudara sekandung atsu seayah, jika tidak ada ahli waris lain.
g.      Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
·         ½  jika seorang, dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
·         2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
h.      Sudara perempuan seayah, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
·         ½ jika sendiri tidak bersama saudara laki-laki seayah.
·         2/3 dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah.
·         1/6 jika bersama denga saudara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap 2/3.
i.        Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan kedudukannya sama, apabila tidak mahjub kedudukannya sama, apabila tidak mahjub berhak menerima:
·         1/6 jika seorang diri.
·         1/3 dua orang atau lebih.
·         Bergabung menerima 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-sama dengan ahli waris suami dan ibu ( musyarakah).
j.        Suami, berhak menerima bagian:
·         ½ jika tidak mempunyai anak atau cucu.
·         ¼ jika bersama denga anak atau cucu.
k.      Istri, berhak menerima bagian:
·         ¼ jika tidak mempunyai anak atau cucu.
·         1/8 jika bersama anak atau cucu.[3]
B.     Hibah
Hibah adalah pemberian secara suka rela dari orang yang boleh bertasyaruf (boleh bertasyaruf maksudnya mempunyai kemampuan untuk membelanjakan harta dan merupakan pemilik dari harta tersebut, penj) ketika masih hidup bersama orang lain dengan jumlah yang diketahui.
Nabi Saw memberi dan menerima hadiah . beliau juga membeli dan menerima pmberian. Maka pemberian dan hadiah termasuk sunnah yang dianjurkan karena kebeikan-kebaikan yang dikandungnya.[4]
1.      Macam-macam hibah
Bermacam-macam sebtan pemberian disebabkan karena perbedaan niat (motivasi) orang-orang yang menyerahkan benda. Macam-macam hibah adalah sebagai berikut:
a.       Al-hibah, yakni pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimiliki zatnya tanpa mengharapkan panggantian ( balasan) atau dijelaskan oleh imam taqiy al-din abi bakr ibnu muhammad al-husaini dalam kitab al-akhyar bahwa alhibah adalahpemilik tanpa penggantian.
b.      Shadaqah yakni pemberian zat benda dari seseorang kepada yang lain tanpa mengganti dan hal ini dilakukan karena ingin memperoleh ganjaranm (pahala) dari Allahyang maha kuasa.
c.       Washiat, yaitu suatu akad yang dengan akad itu mengharuskan dimasa hidupnya mendermakan hartanya untuk orang lain yang diberikan sesudah wafatnya.
d.      Hadiah, yang dimaksud dengan hadiah ialah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa adanya penggantian dengan maksud memuliakan.[5]   
2.      Dasar Hukum Pemberian
Ayat-ayat Al-qur’an dan Al-Hadis banyak yang menganjurkan para penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong-menolong. Salah satu bentuk tolong-menolong adalah memberikan harta kepada orang lain yang betul-betul membutuhkannya, forman Allah:
“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan


[1] Enizar, Hadis Ekonomi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h.48-49
[2] Dian khairul umam sebagaimana dikutib oleh Suhairi “fiqih mawaris” (Yogyakarta: idea press,2013 ) h.57
[3] Suhairi, Fiqih Mawaris, (Yogyakarta: Idea Press, 2013), h.57-60
[4][4] Saleh Al-fauzan alih bahasa Abdul hayyie al-kattani “Fiqih Sehari-hari”, (Jakarta: Gema Insani, 2009), h.537
[5] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (jakarta: Rajawali Press, 2013),h.210-211