BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap harta pasti ada pemiliknya,
ketika pemiliknya meninggal maka hrus ada pemilik yang memiliki harta tersebut.
Perolehan harta dengan kewarisan adalahhak otomatis menjadi hak ahli warisnya.
Ada aturan yang telah Allah dan Rasulullah Saw. tetapkan agar ahli waris yang
ditinggalkan mendapatkan ahli masing-masing.
Hibah
adalah pemberian secara suka rela dari orang yang boleh bertasyaruf (boleh
bertasyaruf maksudnya mempunyai kemampuan untuk membelanjakan harta dan
merupakan pemilik dari harta tersebut, penj) ketika masih hidup bersama
orang lain dengan jumlah yang diketahui.
Nabi Saw memberi dan menerima hadiah
. beliau juga membeli dan menerima pmberian. Maka pemberian dan hadiah termasuk
sunnah yang dianjurkan karena kebeikan-kebaikan yang dikandungnya.
Rumusan masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan kewarisan
2. Ada berapa macam-macam ahli waris
3. Apa yang dimaksud dengan hibah
4. Ada berapa macam-macam hibah
Tujuan
masalah
1. Untuk mengetahui kewarisan
2. Untuk mengetahui macam-macam ahli waris
3. Untuk mengetahui hibah
4. Untuk mengetahui macam-macam hibah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kewarisan
Setiap harta pasti ada pemiliknya,
ketika pemiliknya meninggal maka hrus ada pemilik yang memiliki harta tersebut.
Perolehan harta dengan kewarisan adalahhak otomatis menjadi hak ahli warisnya.
Ada aturan yang telah Allah dan Rasulullah Saw. tetapkan agar ahli waris yang
ditinggalkan mendapatkan ahli masing-masing.
1.
Orang
yang berhak mendapatkan kewarisan
Ahli waris merupakan orang yang paling berhak mendapatkan harta
peninggalan keluarganya yang meninggal, yang secara prioritas diberikan oleh
orang yang mempunyai kedekatan biologis atau keturunan pewaris. Secara umum
ditegaskan oleh Rosululloh Saw. dalam hadis berikut:
عَن اَبِى هُر
يْر ة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى ا للَّه عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ
تَرَكَ مَا لاَفَلاَ هْلِهِوَ مَنْ تَرَكَ ضَيَا عًا فَإِ لَيَّ
”Abu hurairah menyatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda: siapa yang
meninggalkan harta merupakan hak keluarga yang ditinggalkannya dan siapa yang
tidak meninggalkan apa-apa, maka tanggung jawab saya.”
Dalam hadis Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa jika seorang
meninggal duna dan meninggalkan harta, maka harta tersebut menjadi hak ahli
warisnya. Dengan kata lain, harta warisan harus menjadi hak para ahli
waris.ahli waris akan mendapatka haknya, atas semua harta warisan yang
ditinggalkan oleh pewaris. Harta warisan tersebut harus dibagikan kepada ahli
waris yang ditinggalakan dan yang berhak menerimanya, sesuai dengan bagian yang
relah ditentukan setelah semua yang berkaitan dengan wasiat dan utang
dibayarkan sesuai yang ditetapkan dalam QS. An-nisa’ [4]: 11 dan 12.
Dengan demikian, islam mengakui kontribusi kekayaan melalui
pemindahan hak secara otomatis (warisan ) disampng melalui upaya sendiri untuk
bekerja keras. Langkah pewarisan harta yang diatur oleh islam secara ketat dan
rinci, disamping untuk memberi dorongan agar umat islam bekerja keras dan
berhemat, juga merupakan eliminasi terhadap harta tak bertuan. Karena islam
sangat mencela kontra produktif dan usseles dalam berbagai bidang
kehidupan. Penentuan ahli waris dalam Al-Qur’an dan Hadis didasarkan kepada
kedekatan kekerabatan atau hubungan darah antaranya dengan orang yang meninggal
dunia. Dapat dikatakan bahwa hubungan kekerabatan vertikal lebih dekat dari
kekerabatan horizontal dan
diagonal. Ibu/bapak dan anak yang
meninggal lebih dekat hubungannya dari sodara dan paman/bibi, sehingga
konsekuensi logisnya islam memberikan prioritas kepada yang lebih dekat dan keluarga yang jauh tidak mendapatkan
warisan selama kerabat yang dekat masih ada.
Adanya aturan tentang kewarisan ini menunjukkan bahwa islam sangat
memerhatikan faktor ekonomi dan kesejahteraan keluarga yang ditinggal oleh si
mayat. Oleh sebab itu, islam dengan tegas memberikan perngatan terhadap semua
orang untuk bekerja keras dan tidak boros serta menghemet hartanya, dengan
menyisakan sebagian dari penghasilannya (menabung).[1]
2.
Macam-macam
ahli waris
Ahli waris ada dua macam yaitu:
1.
Ahli
waris nasabiyah, karena ubungan darah.
2.
Ahli
waris sababiyah, timbul karena:
·
Perkawinan
yang sah.
·
Memerdekakan
hamba sahaya (al-wala’) atau karena perjanjian tolong-menolong.
Jumlah keseluruhan ahli waris baik
nasabiya maupun sababiyah terdiri dari 25 orang, 15 orang laki-laki dan 10
orang perempuan.
Yang termasuk ahli waris nasabiyah
yang laki-laki berjumlah 13, yaitu:
1.
Anak
laki-laki (al-ibn)
2.
Cucu
laki-laki garis laki-laki (ibn al-ibn) dan seterusnya kebawah
3.
Bapak
(al-ab).
4.
Kakek
dari bapak (al-jadd min jihat al-ab).
5.
Saudara
laki-laki sekandung (al-akh li al-syaqiq).
6.
Saudara laki-laki seayah (al-akh li al-ab).
7.
Saudara
laki-laki seibu (al-akh li al-umm).
8.
Anak
laki-laki saudara laki-laki sekandung (ibn al-akh li al-syaqiq)
9.
Anak
laki-laki saudara laki-laki seayah (ibn al-akh li al-ab)
10.
Paman,
saudara bapak sekandung (al-amm al syaqiq).
11.
Paman
seyah (al-amm li al-ab).
12.
Anak
laki-laki paman sekandung ( ibn al-amm li al-syaqiq).
13.
Anak
laki-laki paman seayah (ibn al-amm li al-ab).
Sedangkan ahli waris nasabiyah yang
perempuan berjumlah 8 orang, sebagai berikut:
1.
Anak
perempuan (al-bint).
2.
Cucu
perempuan garis laki-laki(bint al-ibn).
3.
Ibu
(al-umm).
4.
Nenek
garis bapak (al-jaddah min jihat al-ab).
5.
Nenek
garis ibu (al-jaddah min jihat al-umm).
6.
Saudara
perempuan sekandung(al-ukht al-syaqiqah).
7.
Saudara
perempuan seayah (al-ukht li al-ab).
8.
Saudara
perempuan seibu (al-ukht li al-umm)
Sedangkan ahli waris sababiyah yang
laki-laki yaitu suami dan orang laki-laki yang memerdekakan hamba sahaya. Dan ahli waris
sababiyah yang perempuan adalah istri dan orang perempuan yang memerdekakan
hamba sahaya atau perjanjian tolong menolong.[2]
3.
Ahli
waris ashab alfurud
Dinamakan ahli waris ashab alfurud
kaena bagian-bagiannya telah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Hadis, atau disebut furudul
muqaddarah. Bagian-bagian tersebutlah yang akan diterima oleh ahli waris
menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan.
Adapun macam-macam furudul
muqaddarah yang diatur Dalam Al-qur’an
ada 6, yaitu:
a.
Setengah
(1/2)
b.
Sepertiga
(1/3)
c.
Seperempat
(1/4)
d.
Seperenam
(1/6)
e.
Seperdelapan
(1/8)
f.
Dua
per tiga (2/3)
Pada umumnya ahli waris ashab
al-furud adalah perempuan, sementara ahli waris laki-laki yang termasuk ashab al-furud adalah bapak,
atau kakek dan suami. Selain itu laki-laki menerima bagian ashabah.
Adapun hak-hak yang diterima ahli
waris ashab al-furud adalah:
a.
Anak
perempuan, berhak menerima bagian:
·
1/2
jika sendirian tidak bersama dengan anak laki-laki
·
2/3
jika dua orang atau lebih tidak bersama-sama anak laki-laki
b.
Cucu
perempuan garis laki-laki, berhak menerima:
·
1/2
jika sendirian
c.
Ibu,
berhak menerima bagian:
·
1/3
jika tidak ada anak atau cucu (far’u waris) atau saudara dua orang atau
lebih.
·
1/6
jika ada far’u waris atau bersama dua orang saudara atau lebih.
·
1/3
sisa, dalam masalah gharrawain, yaitu apabila ahli waris terdiri dari:
suami/istri, ibu dan bapak.
d.
Bapak
berhak menerima bagian:
·
1/6
jika ada nak laki-laki dan cucu laki-laki
·
1/6
+ sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki.
Jika bapak bersama ibu:
·
Masing-masing
1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih.
·
1/3
untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua
orang atau lebih.
·
Ibu
menerima 1/3 sisa, bapak sisanya setelah diambil untuk suami atau istri.
e.
Nenek,
jika tidak mahjub berhak menerima bagian :
·
1/6
jika seorang
·
1/6
dibagi rata, apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya.
f.
Kakek,
jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
·
1/6
jika bersama anak laki-laki dan cucu laki-laki.
·
1/6
+sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan tanpa ada anak laki-laki.
·
1/6
atau muqassamah ( bagi rata) denga saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk ahliwaris
lain, 1/3 atau muqassamah bersama saudara sekandung atsu seayah, jika tidak ada
ahli waris lain.
g.
Saudara
perempuan sekandung, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
·
½ jika seorang, dan tidak bersama saudara
laki-laki sekandung.
·
2/3
dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
h.
Sudara
perempuan seayah, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
·
½
jika sendiri tidak bersama saudara laki-laki seayah.
·
2/3
dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah.
·
1/6
jika bersama denga saudara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap 2/3.
i.
Saudara
seibu, baik laki-laki atau perempuan kedudukannya sama, apabila tidak mahjub
kedudukannya sama, apabila tidak mahjub berhak menerima:
·
1/6
jika seorang diri.
·
1/3
dua orang atau lebih.
·
Bergabung
menerima 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-sama dengan ahli waris
suami dan ibu ( musyarakah).
j.
Suami,
berhak menerima bagian:
·
½
jika tidak mempunyai anak atau cucu.
·
¼
jika bersama denga anak atau cucu.
k.
Istri,
berhak menerima bagian:
·
¼
jika tidak mempunyai anak atau cucu.
·
1/8
jika bersama anak atau cucu.[3]
B.
Hibah
Hibah
adalah pemberian secara suka rela dari orang yang boleh bertasyaruf (boleh
bertasyaruf maksudnya mempunyai kemampuan untuk membelanjakan harta dan
merupakan pemilik dari harta tersebut, penj) ketika masih hidup bersama
orang lain dengan jumlah yang diketahui.
Nabi
Saw memberi dan menerima hadiah . beliau juga membeli dan menerima pmberian.
Maka pemberian dan hadiah termasuk sunnah yang dianjurkan karena
kebeikan-kebaikan yang dikandungnya.[4]
1.
Macam-macam
hibah
Bermacam-macam sebtan pemberian disebabkan karena perbedaan niat
(motivasi) orang-orang yang menyerahkan benda. Macam-macam hibah adalah sebagai
berikut:
a.
Al-hibah,
yakni pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimiliki zatnya tanpa
mengharapkan panggantian ( balasan) atau dijelaskan oleh imam taqiy al-din abi
bakr ibnu muhammad al-husaini dalam kitab al-akhyar bahwa alhibah adalahpemilik
tanpa penggantian.
b.
Shadaqah
yakni pemberian zat benda dari seseorang kepada yang lain tanpa mengganti dan
hal ini dilakukan karena ingin memperoleh ganjaranm (pahala) dari Allahyang
maha kuasa.
c.
Washiat,
yaitu suatu akad yang dengan akad itu mengharuskan dimasa hidupnya mendermakan
hartanya untuk orang lain yang diberikan sesudah wafatnya.
d.
Hadiah,
yang dimaksud dengan hadiah ialah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa
adanya penggantian dengan maksud memuliakan.[5]
2.
Dasar
Hukum Pemberian
Ayat-ayat
Al-qur’an dan Al-Hadis banyak yang menganjurkan para penganutnya untuk berbuat
baik dengan cara tolong-menolong. Salah satu bentuk tolong-menolong adalah
memberikan harta kepada orang lain yang betul-betul membutuhkannya, forman
Allah:
“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan
[1] Enizar, Hadis
Ekonomi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h.48-49
[2] Dian
khairul umam sebagaimana dikutib oleh Suhairi “fiqih mawaris” (Yogyakarta:
idea press,2013 ) h.57
[3] Suhairi,
Fiqih Mawaris, (Yogyakarta: Idea Press, 2013), h.57-60
[4][4]
Saleh Al-fauzan alih bahasa Abdul hayyie al-kattani “Fiqih Sehari-hari”, (Jakarta:
Gema Insani, 2009), h.537
[5] Hendi
Suhendi, Fiqih Muamalah, (jakarta: Rajawali Press, 2013),h.210-211